INOVASI PENGEMBANGAN LAYANAN PERPUSTAKAAN PADA RSBI TINGKAT SLTA

Oleh : Blasius Sudarsono
Pemerhati Kepustakawanan Indonesia


PENDAHULUAN

Judul tulisan di atas adalah permintaan Panitia Penyelenggara Rapat Evaluasi kepada penulis. Penggunaan kata ”inovasi” dan ”pengembangan” secara bersama sebenarnya redundant. Judul tersebut cukup ditulis dengan Inovasi layanan prepustakaan sekolah atau Pengembangan layanan perpustakaan sekolah. Namun pengembangan perpustakaan sekolah dewasa ini diarahkan agar perpustakaan sekolah dapat mendukung inovasi. Maka penulis menafsirkan judul panitia itu dengan Pengembangan Layanan Perpustakaan Sekolah yang Mendukung Inovasi. Tiga kata kunci utama yang penulis lihat adalah : 1) Proses Inovasi, 2) Perpustakaan Sekolah, dan 3) Pengembangan Layanan. Memakai terminologi yang sekarang marak dalam dunia perpustakaan yang mencakup maksud tulisan yang diminta panitia, penulis dapat menggunakan judul: Transformasi Perpustakaan Sekolah.

Mengapa penulis sampai pada penggunaan kata transformasi? Hal ini tidak lepas dari gerakan dunia perpustakaan yang kenyataannya dipelopori oleh American Library Association (ALA). Dalam dokumen rencana strategis (renstra)-nya untuk tahun 2011 – 2015, ALA menyebut tujuan berikut:

A key goal of the 2011 – 2015 ALA strategic plan is to provide leadership in the transformation of libraries and library services for today’s dynamic and increas-ingly global digital information environment.

Tidak berlebihan jika kita pustakawan Indonesia perlu mengetahui transformasi apa yang terjadi di dunia perpustakaan global. Hal ini harus kita lakukan sebagai konsekuensi yang kita peroleh karena kita mengenakan ”predikat” pada kata ”sekolah” untuk menyatakan jenis sekolah yang kita namakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Apakah kita semua sadar, mengetahui, memahami, menghayati, dan mengaktualisasikan ragam konsekuensi tersebut?

Tulisan ini mencoba menerapkan cara berpikir logis atas beragam konsekuensi agar minimal kita, khususnya pustakawan sekolah, pengajar dan kepala sekolah mengetahui dan memahami berbagai konsekuensi tersebut. Dengan pengetahuan dan pemahaman kiranya para pustakawan sekolah, pengajar, terlebih para kepala sekolah mampu merencanakan dan menerapkan rancangannya supaya perpustakaan sekolah dapat mendorong pelajar dan pengajar untuk berinovasi. Semua itu hanya akan dapat diwujudkan jika semua pihak yang terkait dapat menghayati dan mengaktualisasikan rencana yang disusun.


MANIFESTO PERPUSTAKAAN SEKOLAH

Tranformasi perpustakaan sekolah tidak dapat lepas dari adanya manifesto perpustakaan sekolah: IFLA/UNESCO School Library Manifesto (SLM). Berikut adalah paragraf pertama dari manifesto itu:

The school library provides information and ideas that are fundamental to functioning successfully in today’s information and knowledge-based society. The school library equips students with life-long learning skills and develops the imagination, enabling them to live as responsible citizens.

• Perpustakaan sekolah memberikan informasi dan ide yang menjadi dasar keberhasilan fungsional dalam masyarakat masa kini yang berbasis informasi dan pengetahuan.
• Perpustakaan sekolah membekali murid berupa keterampilan pembelajaran sepanjang hayat serta pengembangan imajinasi, memungkinkan mereka hidup sebagai warga negara yang bertanggungjawab.

Selanjutnya dinyatakan: menjadi tugas perpustakaan sekolah menyediakan layanan pembelajaran, buku dan sumber informasi lain sehingga menjadikan seluruh warga masyarakat sekolah menjadi pemikir kritis (critical thinkers) dan pemakai efektif informasi dalam beragam media dan format. Dengan semakin beragam dan kompleksnya sumber informasi, maka sudah menjadi keharusan bagi perpustakaan (pustakawan) sekolah mengajarkan keberinformasian (information literacy) kepada siswa.

Keberinformasian sendiri menurut penulis pada dasarnya adalah kemampuan untuk berpikir kritis dan bertindak etis (Sudarsono, 2007). Adalah tugas pustakawan untuk mengajarkan dua kemampuan dasar tersebut. Kiranya tidak berlebihan apabila penulis mengajak pustakawan sekolah merefleksi diri dengan pertanyaan berikut : “Bagaimana pustakawan menyikapi sikap berfikir kritis pihak lain?” Berikutnya adalah pertanyaan : “Bagaimana pula pustakawan dapat berbicara masalah etika seandainya pustakawan masih terjebak pada tindakan yang belum mengutamakan masalah etika ini? “

Konsekuensi pelaksanaan manifesto perpustakaan sekolah menyangkut pendanaan. Banyak sekolah yang belum menyediakan anggaran perpustakaan yang cukup dan berkesinambungan. Memang kata cukup sangat relatif. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 tentang Perpustakaan, mengusulkan angka 5% dari angaran sekolah untuk perpustakaan. Apakah usulan ini akan berhasil? Jikapun berhasil apakah sekolah (dalam hal ini Kepala Sekolah) akan menaati amanah Peraturan Pemerintah ini? Manifesto perpustakaan sekolah menyebut :

The school library is essential to every long-term strategy for literacy, education, information provision and economic, social and cultural development. As the responsibility of global, regional and national authorities, it must be supported by specific legislation and policies. School libraries must have adequate and sustained funding for trained staff, materials, technologies and facilities.

Dari penggal paragaraf di atas, jelas bahwa perpustakaan sekolah adalah investasi jangka panjang. Pada perpustakaan sekolah diletakkan harapan akan masa depan bangsa dan negara dalam diri pribadi pemustaka usia muda. Siapa tahu bahwa suatu saat di antara mereka akan ada pribadi yang menjadi pemimpin bangsa. Itulah yang seharusnya disiapkan. Perpustakaan sekolah adalah perwujudan idealisme. Perpustakaan sekolah bukanlah hasil pola pikir pragmatisme. Pola pikir mana yang biasanya dimiliki oleh pemegang otoritas sekolah dewasa ini?

Untuk membantu pemegang otoritas sekolah memilih pola pikir yang benar dan tepat, manifesto perpustakaan sekolah juga menegaskan bahwa perpustakaan sekolah adalah bagian integral dari proses pendidikan. Inti layanan perpustakaan sekolah adalah berbagai upaya dalam mengembangkan keberaksaraan, keberinformasian, pengajaran, pembelajar-an, dan budaya. Secara lebih rinci berikut adalah tugas perpustakaan sekolah:

• mendukung dan meningkatkan tujuan pendidikan sesuai dengan tugas dan kurikulum sekolah
• mengembangkan dan menjaga kebiasaan dan kesenangan siswa dalam membaca, belajar, dan menggunakan perpustakaan sepanjang hayat
• memberi kesempatan untuk berkesperimentasi, dalam mencipta dan menggunakan informasi bagi pengetahuan, pemahaman, imajinasi, dan kesenangan
• mendukung semua siswa dalam pembelajaran serta praktik ketrampilan untuk mengevaluasi dan menggunakan informasi, tanpa memandang bentuk, format media, termasuk kepekaan pada moda komunikasi dalam masyarakat.
• menyediakan akses terhadap beragam sumber informasi, lokal, regional, nasional, dan global, selain itu juga kesempatan yang menunjukkan pada keberagaman ide, pengalaman, dan pendapat.
• menyelenggarakan kegiatan yang mendorong kesadaran serta kepekaan sosial dan budaya
• bekerja dengan siswa, pengajar, administrator, dan orang tua murid untuk mencapai tujuan sekolah
• menegaskan bahwa kebebasan ilmiah dan kebebasan akses informasi adalah hal mendasar untukmewujudkan kewargaan yang efektif dan bertanggung jawab serta partisipasi dalam demokrasi.
• melakukan promosi atas koleksi buku, sumberdaya informasi lain, dan layanan apa saja yang dimiliki perpustakaan sekolah kepada segenap masyarakat sekolah maupun di luar sekolah.

Perpustakaan sekolah harus mempunyai pustakawan profesional. Ini dinyatakan juga dalam manifesto perpustakaan sekolah. Dinyatakan bahwa pustakawan sekolah haruslah professionally staff member yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pengelolaan perpustakaan sekolah. Yang bersangkutan harus dapat bekerjasama dengan semua anggota komunitas sekolah, dan juga menjalin kerja sama dengan pihak perpustakaan umum setempat. Tuntutan kemajuan jejaring maya, pustakawan sekolah harus kompeten dalam perencanaan dan pengajaran beragam penanganan informasi bagi guru dan murid. Maka jelas bahwa mereka harus selalu melanjutkan pengembangan kemampuan profesional mereka. Pengembangan kemampuan profesionalitas berkesinambungan (Continuing Professional Development = CPD) menjadi tanggung jawab pribadi pustakawan sekolah yang harus difasilitasi oleh sekolah (lembaga kerja), asosiasi profesi pustakawan (sekolah), dan lembaga pendidikan pustakawan (sekolah perpustakaan)

Manifesto ini juga memberikan arahan untuk melaksanakannya. Kebijakan tertulis atas layanan perpustakaan sekolah harus dibuat. Kebijakan ini mencakup tujuan dan prioritas layanan sehubungan dengan kurikulum sekolah yang berlaku. Perpustakaan sekolah juga harus diselenggarakan dan dikelola berdasar standar profesional. Layanan harus dapat diakses oleh setiap anggota masyarakat sekolah, dan diselenggarakan berdasar konteks masyarakat setempat. Kerja sama dengan pihak guru, pihak manajemen sekolah, administrator, orang tua murid, pustakawan dan profesional informasi lainnya serta masyarakat luas perlu didorong agar dapat dilakukan. Tidak boleh dilupakan adalah tugas pemerintah melalui kementerian pendidikan selayaknya memilih strategi, kebijakan dan rencana dalam melaksanakan manifesto ini. Termasuk juga dalam menyebarluaskan mannifesto contohnya dalam program peningkatan kemampuan guru dan pustakawan sekolah.



TRANSFORMASI PERPUSTAKAAN SEKOLAH

Sepanjang sejarahnya, perpustakaan sekolah telah mengalami tiga perubahan mendasar. Perubahan ini memang tiak terjadi di Indonesia, namun lebih pada dunia perpustakaan sekolah pada umumnya di negara maju. Pada mulanya, perpustakaan sekolah dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan buku yang digunakan sebagai tambahan bacaan bagi siswa. Di sisi lain terdapat unit penyimpan semua alat peraga yang digunakan guru dalam memberikan pelajaran. Koleksi alat peraga ini kebanyakan dalam format audiovisual yang biasanya dikelola sendiri oleh para guru. Pada akhir Perang Dunia II, tokoh dari dua bidang tersebut bertemu menghasilkan suatu konsep sistem pendukung pendidikan yang menyatukan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan unit pengelola audiovisual. Konsep pengelolaan bersama inilah yang melahirkan unit yang dikenal dengan nama School Library Media Center (LMC).

Ini merupakan transformasi pertama dari perpustakaan sekolah (sentralisasi sistem simpan dan temu kembali). Tujuannya agar pemanfaatan dua jenis koleksi tersebut menjadi lebih efektif bagi pendidikan dan pengajaran. Fungsi pustakawan sekolah dengan sendirinya bertambah dengan fungsi pendidikan. Muncul terminolgi teacher librarian disamping school librarian. Di Indonesia, penggabungan dua fungsi ini tentu belum terjadi pada semua sekolah. Bahkan tidak jarang fungsi perpustakaan sekolah masih saja sebagai unit pendukung dalam menyediakan bacaan tambahan (pelengkap) bagi siswa. Tidak mengherankan jika masih ada persepsi guru dan kepala sekolah yang menganggap perpustakaan sekolah hanya sebagai ”hiasan” bagi sekolahnya. Mereka belum menyadari bahwa perpustakaan sekolah adalah bagian integral dari sistem pendidikan (sekolah). Hal ini terlihat juga dalam UU Pendidikan yang menempatkan perpustakaan sekolah sebagai sistem pendukung.

Bagi sekolah yang telah menerima bahwa perpustakaan sekolah adalah bagian integral dari suatu sekolah, dapat saja belum sepenuhnya menerima pustakawan sekolah sejajar kedudukannya dengan guru. Bahkan untuk pengelola perpustakaan sekolah juga menugaskan guru, dan bukan pada pustakawan sekolah. Dalam praktik tidak jarang jika ada pustakawan sekolahpun masih diposisikan sebagai tenaga administratif, meski UU Pendidikan telah menyebut sebagai tenaga pendidikan. Yang rancu juga dalam menerjemahkan sebutan teacher librarian sebagai Guru Pustakawan dan bukannya Pustakawan Guru. Yang lebih merisaukan (jika memang ada) gejala bahwa bagi guru yang sudah memperoleh sertifikasi, namun masih kekurangan jam mengajar ternyata ditugaskan di perpustakaan sekolah guna melengkapi jam mengajar mereka. Hal ini menjadi keluhan pustakawan sekolah yang penulis sendiri belum mendapat bukti kebenarannya.

Transformasi kedua bagi perpustakaan sekolah terjadi dengan masuknya komputer dalam dunia perpustakaan. Semula semua peralatan komputer ditempatkan di pusat media atau perpustakaan atau di LMC. Dalam praktik kemudian ada keluhan dari siswa maupun guru jika akan menggunakan peralatan harus meninggalkan kelas. Keluhan ini yang mengakibatkan perpustakaan sekolah atau LMC menjadi jarang dikunjungi. Pada dasawarsa 1990-an muncul konsep pendidikan konstruktif. Konsep ini memungkinkan siswa mendapatkan porsi lebih besar dalam perencanaan pembelajarannya. Guru menekankan pembelajaran berbasis projek, penyelidikan, kelompok siswa melakukan projek investigasi, atau pemecahan permasalahan. Dengan sendirinya siswa memerlukan lebih dari sekedar catatan pelajaran dan buku teks agar berhasil. Siswa memerlukan lingkungan yang kaya akan informasi maupun teknik untuk disarikan, dikemas, dan dipakai dalam projek mereka.

Pertanyaan yang jawabnya bisa ya atau tidak adalah : ”Apakah konsep konstruktivis ini berjalan dengan baik?” Beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam menerapkan konsep tersebut. Sebagaian menerima namun gagal dalam penerapannya. Kegagalan dalam pelaksanaan itu karena belum terjadi konsistensi integrasi konsep tersebut dalam kurikulum. Akibatnya timbul keraguan sehingga penerapan konsep itu tidak dapat mulus dikerjakan. Ternyata mengubah pola pikir menjadi kendala utama. Bagi kita di Indonesia, pertanyaan yang mungkin dapat diajukan adalah apakah perpustakaan (pustakawan) sekolah kita sudah mengenal konsep ini? Konsep ini dikenal juga dengan : integrasi sistem informasi dalam kurikulum.

Transformasi ketiga terjadi ketika teknologi sudah sedemikian dominan dalam sistem sekolah. Sebelumnya biasa jika ada anggapan bahwa perpustakaan sekolah merupakan tempat tujuan semua sivitas mencari bahan dan peralatan mengajar belajar. Kini semua itu berubah dengan teknologi yang menghasilkan sistem jejaring kerja. Perpustakaan sekolah kini menjadi jejaring pusat, dengan ibaratnya banyak belalai yang menjangkau seluruh bagian dari sekolah bahkan sampai di luar sekolah. Pustakawan sekolah harus mampu menjadi antar muka (interface) yang menghubungkan sistem informasi tercetak maupun digital, teknologi, dan jejaring di satu sisi dengan siswa, guru, dan pihak terkait di sisi lain. Jangkauan sistem informasi dari pusat sampai setiap bagian sekolah, bahkan sampai di luar sekolah. Oleh karena itu transformasi ketiga ini juga dikenal dengan: transformasi keseluruhan sistem pendidikan dalam satu sistem informasi.

Secara skematis gambar berikut menunjukkan perubahan sistem lama menjadi sistem baru. Dari yang dulunya mengarah ke satu titik (sentralisasi) menjadi dari sati titik mengarah ke berbagai jurusan. Dalam sistem ini terjadi sekaligus penerapan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Komunikasi menjadi lebih interaktif. Secara bersama layanan perpustakaan dirancang oleh pustakawan dan pemustaka.



Transformasi Perpustakaan Sekolah



TRADISIONAL

BARU

• koleksi berbasis karya cetak
• orientasi pada karya cetak dan multimedia
• terpusat (sentralisasi)

• agenda yang kaku
• pelaksana tunggal
• ruang tenang, cenderung kosong
• koleksi berbasis informasi
• beragam teknologi

• sentralisasi dan desentralisasi
• agenda yang luwes
• profesional dan staf teknis
• menunjukkan kesibukan laboratorium pembelajaran




PENUTUP

Manifesto Perpustakaan Sekolah, sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia (lihat http://archive.ifla.org/VII/s11/pubs/manifesto-id.htm). Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apakah semua Kepala Sekolah sudah menyadari keberadaan manifesto itu dan memahaminya? Ini merupakan pertanyaan pertama dan utama, karena Kepala Sekolahlah yang memilki otoritas dalam setiap sekolah. Kehidupan perpustakaan sekolah lebih ditentukan oleh sejauh apa pandangan, pemahaman, dan harapan yang dimiliki Kepala Sekolah kepada perpustakaan sekolah. Langkah berikut adalah bagaimana menyusun rencana transformasi perpustakaan sekolah menuju pada fungsi baru perpustakaan sekolah agar dapat memenuhi harapan bahwa perpustakaan sekolah mendorong terjadinya proses inovasi baik oleh siswa maupun guru.

Perpustakaan di Indonesia juga telah mengalami transformasi. Namun transformasi kita jelas lebih lambat dibanding dengan transformasi perpustakan di negara maju. Problem kita adalah karena perpustakaan di Indonesia belum menempati posisi yang sebenarnya dalam hidup keseharian masyarakat kita. Apakah dari yang hadir ini saja sudah semuanya merasakan pentingnya perpustakaan dalam hidup pribadi kita masing-masing? Jika kita saja yang menyebut diri sebagai pustakawan belum merasakan pentingnya perpustakaan dalam hidup pribadi kita, maka jangan mengharapkan pihak di luar pustakawan akan dapat menerima keberadaan perpustakaan.

Perpustakaan sekolah belum semuanya menempati posisi yang benar dalam proses dan kegiatan mengajar belajar. Dapat dikatakan bahwa kondisi perputakaan sekolah di Indonesia dewasa ini masih pada era transformasi pertama (memusatkan semua koleksi serta sistem temu kembalinya pada satu titik). Sebagian kecil memang sudah memasuki era transformasi kedua. Ini terjadi pada sekolah yang pustakawannya sudah mengajarkan keberinformasian kepada siswa. Perencanaan transformasi perpustakaan sekolah memang harus mempertimbangkan kondisi setempat. Apakah sebuah perpustakan sekolah sudah selesai mengerjakan tranformasi fase pertama? Akankah semua transformasi itu akan dilakukan berurutan? Atau akan terjadi “loncatan katak” ?

Terlepas dari tahapan transformasi, yang selalu harus dikerjakan dengan benar dan baik adalah kegiatan dokumentasi. Dengan kata sederhana dokumentasi adalah kegiatan catat¬¬ mencatat, rekam merekam, serta mengelola catatan dan rekaman. Dokumentasi dapat dikatakan juga adalah simulasi kerja otak, sehingga semua orang pada hakekatnya harus mengerjakan. Idealnya sejak dini siswa sudah dikenalkan dan dilatih dalam kegiatan dokumentasi. Objek dokumentasi dalam proses belajar adalah pengetahuan serta ilmu pengetahuan yang diajarkan dan dipelajari di sekolah dengan dokumentasi pribadi yang baik dapat dikatakan bahwa siswa akan tahu apa yang diketahuinya. Ini adalah modal dalam proses inovasi.

Pada tataran organisasi kegiatan dokumentasi menjadi dasar dari setiap upaya, baik untuk membangun pusat informasi, pusat pembelajaran, bahkan untuk mengelola pengetahuan organiasi. Seperti halnya dokumentasi pribadi sebagai modal dalam seseorang melakukan inovasi, dokumentasi organisasi juga menjadi modal organisasi dalam melakukan inovasi juga. Sayang dokumentasi menjadi terlupakan atau bahkan justru dihancurkan oleh pihgak yang kepentingannya terancam dengan adanya dokumentasi yang baik.


************************************************************************


BACAAN


EMERGING Concept of the School Library Media Center. Dapat diakses pada
http://slisweb.sjsu.edu/courses/250.loertscher/chapter%201.pdf

IFLA/Unesco School Library Manifesto. Dapat diakes pada :
http://archive.ifla.org/VII/s11/pubs/manifest.htm

SUDARSONO, Blasius (2005)
Dokumentasi dalam proses mengajar belajar. Jakarta, PDII-LIPI, 29 September 2005

SUDARSONO, Blasius (2007)
Keberinformasian : Sebuah pemahaman awal. Makalah disampaikan dalam Semi-nar sehari Melek Informasi dalam Pembelajaran dan Pengajaran di Sekolah. Beran, Tridadi, Sleman 13 Februari 2007

***********************************************************************
(Disampaikan dalam Rapat Evaluasi Layanan Perpustakaan Sekolah
untuk tingkat SLTA (RSBI) se Provinsi Jawa Tengah
Semarang, 10 November 2011)

Semarang, 10 November 2011
Blasius Sudarsono
Pemerhati Kepustakawanan Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PUSTAKAWAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL MELALUI ORGANISASI PROFESI ATPUSI

MANAJEMEN PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN

SELEKSI PUSTAKAWAN BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL TAHUN 2010