Literasi Informasi: Kunci kemajuan yang terbuang

Pendahuluan
Dalam sebuah cerita rakyat, legenda, pewayangan atau cerita-cerita kepahlawanan (epos), yang tumbuh subur di zaman praliterasi, selalu ada dua jenis pusaka yang dijadikan bahan rebutan oleh para jawara atau dua kubu yang berhadap-hadapan. Pusaka tersebut kalau tidak berupa kitab atau buku, pasti berupa senjata. Ini adalah sebuah pesan historis yang kalau ditafsirkan bisa diartikan bahwa perubahan di dunia ini bisa terjadi oleh dua kekuatan yaitu kekuatan intelektual (yang disimbolkan dengan buku) dan yang kedua adalah kekuatan militer (yang disimbolkan dengan senjata). Perubahan akan berjalan serasi apabila ada sinergi di antara keduanya yaitu adanya sinergi atara kepintaran dan kekuatan. Orang pintar tanpa kekuatan akan lemah, dan orang kuat tanpa memiliki pengetahuan (hikmah) akan merusak.

Kita sudah membuktikannya di republik ini. Indonesia pernah dipimpin oleh seorang intelektual dua kali dan tidak tahan lama karena tidak memiliki kekutan. Kita pun pernah dipimpin oleh militer. Memang lama berkuasa akan tetapi negeri ini menjadi rusak. Juga, kita pernah dipimpin oleh seorang presiden yang bukan militer dan intelek pun tidak. Maka kita sama-sama menyaksikan semakin tidak karuannnya negeri ini.

Dalam sejarah pernah ada seorang pemimpin yang dapat berkuasa secara penuh dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu Firaun. Namanya akan abadi dalam catatan sejarah manusia. Dan ternyata bahwa Firaun membangun kekutannya bukan hanya ditopang oleh kekuatan militer yang besar, akan tetapi dia sendiri merupakan seorang intelektual. Pada saat meniggalnya, dia memiliki 20.000 koleksi ”buku” di perpustakaannya. Tentu saja tidak berupa buku seperti yang kita saksiakan sekarang ini, akan tetapi masih ditulis dalam media tanah liat, kulit kayu, dan kulit binatang. Akan tetapi kita tidak ingin mengatakan: ”Jadi, kalau ingin menjadi orang yang sukes sebagai penjahat jadilah penjahat yang berpengetahuan (white collar crim)”. Ia akan bisa memiliki apa pun yang ia inginkan di negeri ini bukan saja kekayaan akan tetapi juga memiliki kekuasan yang tidak tersentuh oleh para penegak hukum. Penjahat yang tidak berpengatahuan akan menjadi penjahat yang malang. Hasil curiannya tidak seberapa, akan tetapi inilah yang menjadi target buruan penegak hukum. Dan kemudian dieskplotiasi menjadi komoniditas hiburan yang menarik sebagaimana kita saksikan di acara-acara televisi.

Informasi adalah bebas nilai, sebagaimana juga senjata. Sangat tergantung kepada akhlak orang yang memegangnya. Tapi yang jelas informasi adalah sebuah kekuatan, atau meminjam istilah Francis Bacon ”knowledge is power” adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda: ” kalau ingin menguasai dunia dan akhirat milikilah ilmu.”


Literasi Informasi

Wacana literasi informasi (information literacy) belum begitu populer di Indonesia, walaupun masalah ini bukanlah masalah baru, ” tidak ada yang baru di bawah langit ini” kata Nabi Sulaiman. Kalau kita coba mencari kata ”literasi informasi” ini di Google Indonesia, saya yakin tidak akan lebih dari sepuluh cantuman. Padahal di negara lain litrasi informasi bukan lagi sebagai wacana akan tetapi sudah menjadi sebuah kebijakan. Literasi informasi semakin mencuat kepermukaan berbarengan dengan fenomena buta aksara dan rendahnya minat baca yang sudah menjadi masalah nasional, sehingga mendapat pemberitaan oleh media massa (media exposure) yang sangat kuat tahun ini.

Literasi informasi sendiri dapat diartikan kemampuan seseorang dalam mencari, mengoleksi, mengevaluasi atau menginterpreatisakan, menggunkan, dan mengkomunikasikan informasi dari berbagai sumber secara efektif. Keahlian ini seharusnya telah dimiliki oleh orang-orang yang terbiasa dengan dunia tulis-menulis atau pendidikan yang dimulai semenjak di bangku SMP.Akan tetapi disitulah letak masalahnya, jangankan murid SMP mahasiswa pun banyak yang belum memiliki keahlian ini. Padalah tujuan utama dari pendidikan sendiri adalah bagaimana supaya manusia pandai memberdayakan informasi. Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melek informasi (information literate) paling tidak harus memiliki kemampuan:

1. menentukan cakupan informasi yang diperlukan

2. mengakses informasi secara efektif

3. mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya dengan kritis

4. menggunakan informasi sesuai dengan tujuan

Jelas bahwa dalam dunia pendidikan kemampuan literasi informasi merupakan yang sangat esensial harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Sering kita mendengar pribahasa yang mengatakan ” jangan beri ikan, berilah pancingnya”. Kemampuan literasi informasi adalah ”pancing” bagi sang murid supaya ia dapat belajar mandiri (students’ freedom to learn). Peserta didik akan diajarkan pada sebuah metode untuk menelusri informasi dari berbagai sumber informasi yang terus berkembang. Karena tidak akan ada seorang pun pada zaman sekarang ini yang mampu untuk mengikuti semua informasi yang ada. Beradasarkan catatan menunjukkan bahwa sekarang ini perkantoran saja menghasilkan 2,7 miliar dokumen pertahun dan satu juta publikasi diterbitkan setiap tahun.

Oleh karenanya, literasi informasi adalah merupakan sebuah bekal yang sangat berharga untuk tercapainya pembelajaran seumur hidup. Mengingat juga, bahwa sekarang ini kita sedang memasuki era informasi atau ”gelombang ketiga” dalam peradaban manusia menurut Alvin Toffler. Di mana informasi menjadi komoditas yang setiap hari diperebutkan dalam pentas pertarungan global ini. Siapa yang dapat menguasai informasi dialah yang akan bertahan hidup, dan kuncinya adalah literasi informasi. Literasi informasi adalah sebuah keniscayaan zaman.

Landasan yang kokoh untuk menuju melek informasi (information literate) adalah budaya baca masyarakat. Dan budaya baca akan terbentuk manakala minat baca di masyarakat telah tumbuh dan berkembang. Melihat kenyataan Indonesia dalam masalah mianat baca mengingatkan kita pada perkataan Soekano, ”menjadi koeli bangsa asing di negeri sendiri,” bahkan mungkin mengingatkan kita sebuah kisah perbudakan bahkan kematian bangsa yang diakibtkan oleh kebodohan rakyatnya

Salah satu jawaban atas kemelut kemiskinan atau keterbelakangan yang terjadi di negeri ini tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih tingginya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca seagian besar masyarakat. Kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup.


Mengapa minat baca bangsa Indonesia begitu rendah? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Karena masalah minat baca sudah merupakan problem sosial, yang memiliki banyak aspek, yang tentu saja memerlukan rekayasa sosial untuk solusinya. Akan tetapi kalau dilihat secara umum rendahnya minat baca ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor kultural dan faktor struktural.

Faktor kultural barkaitan dengan mentalitas atau kepribadian masyarakat Indoneisa, yang oleh salah seorang budawan disebut dengan ”bangsa layak jajah”; pribadi yang ingin cepat maeraih suskes tanpa melihat proses; lebih baik makan singkong hari ini daripada makan nasi tapi besok; mangan ora mangan sing penting ngumpul; lisan lebih dominan daripada tulisan; menonton menjadi hegemoni dimanding membaca; otot lebih berharga daripada otak.

Selain hambatan kultural di atas masih ada faktor-faktor lain seperti faktor kemiskinan atau rendahnya daya beli, kurikulum yang kurang mendukung terciptanya budaya baca, daya dukung infrastruktur (seperti perpustakaan, taman bacaan, harga buku) yang kurang. Ditambah dengan faktor struktural, yaitu kurangnya kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk sungguh-sungguh meningatkan minat baca masyarakata. Hal ini bisa kita lihat dari porsi anggaran dalam APBD atau APBN untuk perpustakaan dan peningkatan minat baca.

Untuk mengatasi masalah minat baca dan lebih lanjut ke masalah literasi informasi dapat digunakan tiga macam strategi, yaitu strategi kekuasaan (power strategy), strategi persuasif (persuasive strategy), dan strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative strategy). Stragegi kekuasaan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Dengan kewenangannya dapat mengintruksikan bahkan melakukan mobilisasi struktural dari tingkat presiden sampai struktur yang paling bawah. Misalnya dengan mengeluarkan PP, Kepres, sampai Perda tentang peningkatan minat baca. Di sini juga didukung dengan undang-undang tentang perpustakaan, yang sekarang ini sedang dibahas di DPR. Strategi kekuasaan akan lebih efektif digunakan karena bersifat memaksa semua elemen pemerintahan untuk beraksi. Juga, mengingat budaya masyarakat ”menunggu perintah dari atasan” yang masih melekat.

Dalam menggunakan strategi persuasif, media massa memiliki peranan yang besar. Karena, pada umumnya strategi persuasif dijalankan melalui pembentukan opini publik dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa (buku, koran, majalah, TV, Internet). Usaha persuasif ini telah dilakukan dengan menayangkan iklan layanan masyarakat di banyak stasiun TV yang disampaikan oleh para selebritis. Dan pada tahun ini juga dipilih Tantowi Yahya sebagai Duta Baca Indonesia. Mengingat rakyat Indonesia yang berada dalam kubangan ”budaya nonton,” diharpkan dengan ditampilkannya para selebriti mereka akan terbujuk. Memang sekarang ini para selebritis sedang laku dijadikan duta apa saja, termasuk duta Iptek pun diberikan pada selebritis. Karena sebagian masyarakat Indonesia sulit membedakan mana yang menarik dan mana yang benar.

Dan yang ketiga adalah strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia telah diakui secara luas oleh hampir semua imuwan sosial. Norma termasyaraktkan melalui education (pendidikan). Oleh karena itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation (pendidikan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Dan lembaga yang paling tepat untuk hal ini adalah lembaga pendidikan.


Menarik sekali membaca pengalaman Malaysia dalam menerapakan kebijakan literasi informasi di sekolah. Mohd Sharif Mohd Saad, staf pengajar Fakultas Manajemen Informasi MARA, menuturkan bahwa linerasi informasi menjadi pendorong utama terciptanya personal empowerment dan student’ freedom to learn. Ketika para murid mengetahui bagaimana cara menemukan dan menerapkan informasi, mereka dapat belajar sendiri apa yang mereka perlukan untuk belajar dan yang paling penting mereka dapat mempelajari bagaimana seharusnya belajar. Dengan literasi informasi ini memungkinkan mereka untuk menjadi pembelajar seumur hidup dan menjadi warga negara yang berguna dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah. Salah satu prinsip dasar yang tertera dalam The Malaysian Smart School Conceptual Blueprint adalah para siswa dapat belajar memproses dan memanipulasi informasi, dan mereka pun dilatih untuk berpikir kritis. Beliau juga mengatakan bahwa semua sekolah di Malaysia dilengkapi dengan resources centre (perpustakaan sekolah) untuk menunjang proses belajar mengajar. Perpustakaan sekolah ini dikelola secara profesional oleh guru-pustakawan. Melalui pustakawan-guru inilah resources centre menjadi bagian yang terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Mentri Pendidikannya pun mengatakan bahwa perpustakaan sekolah merupakan bagian yang sangat penting untuk merealisasikan strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk literasi, edukasi, dan pembelajaran seumur hidup dan mencetak para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan menjadi pengguna perpustakaan dan informasi yang efektif.

Kenyataan hari ini menunjukkan, bagaimana Malaysia dapat berada pada urutan di atas Indoneisa dalam IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Sepuluh tahun yang lalu mahasiswa Malaysia banyak menduduki bangku-bangku kuliah di Indoneisa. Hari ini, sebaliknya mahasiswa Indoneisa berbondong-bondong kuliah, dengan beasiswa, di Malaysia. Bukan hanya itu, buruh pun (TKI) tidak mau ketinggalan turut membanjiri negeri Jiran itu, baik berangkat dengan cara legal maupun ilegal.



Penutup

Informasi sangat penting dalam peradaban manusia, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tanpa penguasaan informasi kehidupan sesorang, organisasi, atau bangsa akan tergilas oleh roda zaman yang kian cepat bergerak. Eksistensi bangsa kita sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan informasi. Keterampilan menelusuri, mengevalusi, mengeinterpretasikan, dan mengaplikasikan informasi—yang kita sebut dengan literasi informasi—adalah sebuah keniscayaan. Sekangan ini di hadapan kita semua hanya tersedia dua pilihan: literasi informasi atau mati. Sebab hidup ini, kata Chairil Anwar, ”sekali berarti setelah itu mati.”


Sumber : http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/literasi-informasi-kunci-kemajuan-yang-terbuang?change_font=small&showall=1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PUSTAKAWAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL MELALUI ORGANISASI PROFESI ATPUSI

MANAJEMEN PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN

SELEKSI PUSTAKAWAN BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL TAHUN 2010