Literasi Media dan Informasi

Di era informasi sekarang ini, pemahaman generasi muda tentang realitas dicapai terutama melalui media massa (cetak, elektronik, dan Internet) termasuk informasi atau pemahaman tentang konflik dalam masyarakat. Media massa memiliki kemampuan untuk membangun pencitraan dalam benak generasi muda serta membentuk pendapat mereka. Media melalui isi pesan melaksanakan strategi pembingkaian, yang menyoroti aspek-aspek tertentu dan mengabaikan aspek-aspek lain dalam memandang kenyataan. Isi pesan media massa sangat tergantung pada ekonomi mereka serta kepentingan ideologis mereka. Strategi media diimplementasikan secara halus agar tidak disadari oleh publik (generasi muda).
Kenyataan bahwa isi pesan media massa sering begitu halus sehingga tidak disadari khususnya oleh generasi muda, mendorong munculnya kebutuhan akan Literasi Media sebagai metode atau langkah-langkah untuk memecahkan masalah ini. Literasi Media adalah kemampuan untuk mengkritik isi media dan memiliki pemahaman penuh tentang realitas. Melalui kegiatan lokakarya Literasi Media, generasi muda bisa setidaknya menguasai empat keahlian:
• kemampuan untuk mengakses media,
• menganalisis isi media sesuai dengan konteks,
• mengkritik media massa, dan
• menulis pesan mereka sendiri dalam berbagai bentuk dan jenis media.
Literasi Media, pada gilirannya, dapat menjadi langkah antisipatif dalam menghadapi konflik serta menjaga perdamaian di suatu wilayah.
Sebagaimana diketahui, peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban dimana informasi sudah menjadi komoditas utama, dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK), demikian antara lain sambutan tertulis Menkominfo yang disampaikan oleh Deputi Bidang SDM Kominfo Ir. RSY. Kusumastuti pada acara pembukaan Diklat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk kalangan aparatur negara yang diselenggarakan di Jakarta, atas kerja sama Depkominfo dan Japan International Cooperation Agency (ccl – admin). Selain itu, perkembangan teknologi informasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan elife, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini, sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e, seperti ecommerce, egovernment, eeducation, elibrary, ejournal, emedicine, elaboratory, ebiodiversity, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika (Wardiana, 2002).
Seperti telah diungkapkan di atas, eletronik secara tidak langsung mempunyai peran strategis dalam mengembangkan masyarakat informasi. Mengapa demikian, karena elektronik bertindak sebagai perantara atau media yang membawa atau menyuarakan informasi dari pengirim ke penerima. Jadi, tidaklah mengherankan jika saat ini pertumbuhan informasi berbanding lurus dengan keberadaan media yang berkembang di masyarakat.
Antara media dan informasi bagai 2 sisi mata uang yang saling berdekatan dan mempunyai hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Informasi akan mudah dan cepat tersampaikan dengan adanya campur tangan media. Mediapun akan sedikit kehilangan giginya bila tidak ada yang disuarakannya. Jadi bisa dikatakan, media hadir untuk mempermudah dan mempercepat lajunya informasi sampai ke sasaran, sebaliknya informasi ada untuk mengisi media.
Untuk itu guna menuju transformasi masyarakat menuju masyarakat informasi dan masyarakat berbasis pengetahuan, tidak saja membutuhkan infrastruktur (hardware, software, aplikasi, dan konektivitas/akses) yang handal, dan regulasi (peraturan) yang mendukung, tetapi juga sumber daya manusia (SDM) atau brainware dengan tingkat literasi (melek) media yang memadai dan kemampuan mengeksplorasi konten (literasi informasi) untuk menciptakan kemakmuran (ccl – admin). Bahkan dalam sebuah papernya, Fasli Jalal dan Nina Sardjunani menghubungkan antara tingkat literasi dengan harapan hidup masyarakat. Ternyata ada korelasi yang positif antara keduanya, artinya semakin tinggi tingkat literasi sebuah masyarakat semakin tinggi pula harapan hidupnya (Isnaini).
Fenomena di atas akhirnya menimbulkan pelbagai paradigma baru dalam pendidikan. Pendidikan sebagai sarana belajar kian mendapatkan tantangan, ketika dihadapkan dengan zaman yang menurut para teorisi teknologi komunikasi (Marshall McLuhan dan Regis Debray) dikenal sebagai “The Age of Media Society” (Astuti).
Kampus sebagai salah satu produsen yang membidani terbentuknya sebuah masyarakat intelektual, sudah sepantasnya ikut mengambil bagian dalam pewujudan masyarakat informasi seperti yang telah diungkapkan di atas. Namun sayangnya, tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut (Bukhori, 2005) :
Pertama, budaya minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti, kebanyakan kita merasa lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan bahkan alat-alat rumah tangga, ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, kita menjadi tidak akrab dan merasa asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah.
Kedua, karena adanya dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita yang awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca.
Ditambah lagi, tipe pendidikan di Indonesia masih cenderung menganut interaksi satu arah dalam proses pembelajarannya. Dengan kondisi seperti ini, semakin mempertebal fakta bahwa keterampilan anak didik di Indonesia hanya sebatas sampai tataran menjadi pendengar yang baik saja. Terjadi demikian, karena mereka terbiasa hanya mempersiapkan telinga untuk belajar tanpa tahu bagaimana caranya mencari sampai meramu sebuah informasi. Jadi, tidak heran apabila diberikan kepadanya sebuah tugas yang mengharuskan mereka untuk mensintesis sebuah informasi, yang dikumpulkan hanya seperti memindahkan sumber ke tempat yang lain dengan dipertautkan atau dijahit dengan sumber yang lain tanpa dimaknai dengan hasil pemikirannya sendiri.
Fenomena ini, merupakan miniatur yang menggambarkan secara jelas tentang bagaimana tingkat literasi anak didik (dalam hal ini siswa).
Kendala-kendala yang telah dihadirkan di atas, diperparah lagi dengan kenyataan bahwa keterampilan meliterasi media tidak selalu terintegrasi dengan mata pelajaran yang diajarkan (tergantung gurunya). Media hanya dijadikan sebagai bahan bantu mengajar saja, bukan sebagai salah satu sumber belajar. Hal ini disebabkan karena minimnya fasilitas dan performance guru yang kadang ”jauh” dari media.
Padahal, bergelut dengan berbagai media dan menjadikannya sebagai sumber belajar banyak sekali informasi yang dapat ditimba dan gali darinya. Agar dalam pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien, dibutuhkanlah kemampuan yang baik dalam membaca, menulis, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan secara komprehensif informasi yang didapat dari berbagai media yang ada, selanjutnya disebut dengan literasi media dan informasi.
Kemampuan literasi media dan informasi wajib dimiliki siswa, jika mereka tidak mau ketinggalan dan menjadi “asing” di masyarakat yang telah dikelilingi informasi ini. Dengan dimilikinya dua kemampuan tersebut pada diri siswa, akan memudahkan mereka untuk merealisasikan slogan ”lifelong education”. Selain itu juga, keterampilan untuk meliterasi media dan informasi adalah salah satu strategi utama yang dikumandangkan UNESCO untuk dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Yang semakin memperkuat lagi keharusan memiliki kedua keterampilan ini, karena kedua keterampilan literasi ini banyak diproyeksikan para ahli sebagai 21st century skills yang dapat dijadikan password untuk dapat melenggang dengan sukses dalam masyarakat informasi (ncrel.org).
Pendapat di atas senada dengan pernyataan Dan Blake tentang alasan perlunya mengajarkan media literasi pada siswa, yaitu : (1) kita hidup ditengah lingkungan bermedia, (2) literasi media menekankan pada pemikiran kritis,(3) menjadi literat terhadap media merupakan bagian dari pembelajaran terhadap warga negara, (4) dengan mempunyai literasi terhadap media membuat kita dapat berperan aktif dalam lingkungan yang dipenuhi dengan media, (5) pendidikan media membantu kita dalam memahami teknologi komunikasi, dan (6) literasi media sudah terintegrasi dalam area K-12.
Sumber : http://www.literasimedia.org/artikel/tag/literasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PUSTAKAWAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL MELALUI ORGANISASI PROFESI ATPUSI

MANAJEMEN PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN

SELEKSI PUSTAKAWAN BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL TAHUN 2010