Dari Pendidikan Pemakai Perpustakaan menuju Literasi Informasi di sekolah: beberapa masalah yang timbul dalam proses evolusi

Oleh : Arsidi, SIP. Dalam makalah ini penulis fokus pada berbagai definisi literasi informasi, bagaimana ia telah berkembang dari pendidikan pengguna perpustakaan, dan tujuan program Literasi Informasi. Penulis menekankan bahwa literasi informasi adalah keterampilan untuk seumur hidup dan belajar yang fleksibel dalam berbagai situasi. Penulis akan menunjukkan peran kunci pustakawan sekolah di bidang Literasi informasi dan mengidentifikasi beberapa hambatan terhadap keterlibatan efektif pustakawan dan pelaksanaan program ini. Tulisan tidak mencakup unsur-unsur pedagogis seperti metode pengajaran literasi informasi dan juga tidak saya membahas konten tertentu dari program tersebut. Literasi informasi bukanlah fenomena yang sama sekali baru. Istilah "information Literacy " telah muncul pertama kali dalam literatur perpustakaan selama 1970-an dan sekarang kadang-kadang salah digunakan untuk menggambarkan pendidikan pengguna perpustakaan. Namun, program literasi informasi melakukan lebih banyak daripada memberitahu bagaimana menggunakan Perpustakaan. Literasi informasi ini sangat terkait dengan nilai strategis dan penggunaan informasi. Untuk keperluan makalah ini penulis akan berbicara tentang program-program yang memastikan bahwa orang (usia sekolah) diajarkan tentang informasi tidak hanya tersedia dalam perpustakaan di cetak dan bentuk digital, tetapi juga disediakan dengan konteks di mana informasi dibuat, terletak dan dimanfaatkan di dunia yang lebih luas informasi dan pengetahuan. Perpustakaan sekolah merupakan unit pendidikan yang bertugas menyediakan informasi dan ide-ide yang yang fundamental dalam rangka mewujudkan masyarakat yang modern yang berbasiskan pengetahuan dan informasi. Perpustakaan sekolah mengemban tugas mulia untuk membekali siswa dengan kemampuan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan imajinasi, dan membentuk suatu masyarakat yang bertanggung jawab. Fungsi dan tugas perpustakaan sekolah antara lain adalah sebagai pusat belajar mengajar, membantu siswa memperjelas dan memperluas pengetahuannya, mengembangkan minat, bakat, kegemarannya, kemampuan dan kebiasaan membaca yang menuju kebiasaan mandiri, membiasakan siswa mencari infomasi di perpustakaan, tempat rekreasi dan tempat memperluas kesempatan belajar siswa serta berperan memberi keterampilan menemukan, menjaring, menilai informasi dan menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Perpustakaan Sekolah untuk mewujudkan Life-Long Learning yang dalam makalah ini diartikan sebagai belajar sepanjang hayat atau belajar sepanjang hayat, yaitu merupakan kegiatan yang dikelola walaupun tanpa organisasi sekolah dan kegiatan ini justru mengarah kepada penyelenggaraan asas pendidikan seumur hidup. Hal itu seperti yang dikatakan juga oleh Andretta bahwa dalam WILL atau the World Initiative on life-ong learning adalah bahwa sebuah proses yang suportif yang berkesinambungan dimana anak didik mempunyai rangsangan dan pemberdayaan individu untuk mendapatkan pengetahuan, nilai-nilai, kemampuan dan pemahaman yang dapat meningkatkan pemahaman seumur hidup serta mampu mengaplikasikannya dengan cara pecraya diri, kreatif dan menyenangkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Konsep belajar itu sendiri seperti yang dinyatakan oleh Bower (1975 : 1) bahwa “learning” itu adalah to learn, to gain knowledge, comprehension, or mastery through experience or study, atau dikatakan bahwa to acquire through experience. Bahwa belajar itu pada dasarnya adalah mencapai pengetahuan dan pemahaman melalui pengalaman ataupun belajar. Sementara menurut Knowles (1984 : 5) bahwa belajar itu intinya adalah mengalami perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Dan menurut Botkin mengatakan bahwa belajar, yang diartikan sebuah pendekatan adalah lebih menekankan kepada sebuah inisiative terhadap metodologi yang baru, keahlian yang baru, sikap yang baru, nilai yang baru yang diperlukan untuk hidup pada kondisi kehidupan seperti sekarang ini. Belajar adalah proses penyiapan diri untuk melaksanakan kondisi yang baru. Sehingga, belajar sepanjang hayat itu lebih menekankan kepada perubahan pengembangan kualitas kehidupan. Lebih lanjut dikatakan Andretta bahwa kapasitas kemampuan melakukan belajar sepanjang hayat itu tidak hanya pada satu disiplin ilmu saja, tetapi harus disatukan dengan informasi yang lain yang mengarah kepada belajar sepanjang hayat. Orang yang sudah bisa melakukan belajar sepanjang hayat adalah orang yang dapat mendidik dirinya sendiri dan bersikap kreatif terhadap berbagai proses belajar bagaimana belajar itu merupakan pendekatan dalam life-long learning. Medel-Anonuevo (2002 : 49) mengatakan bahwa konsep life-long learning itu tidak hanya terbatas pada pemahaman sepanjang hayat, tetapi meliputi pemahaman terhadap peningkatan pengetahuan, keahlian dan kompetensi. Akibat dari belajar sepanjang hayat itu adalah sebagai tujuan pendidikan yang merupakan salah satu dari kekuatan pengembangan information literacy. Perspektif belajar bagaimana belajar (learning how to learn) itu meliputi kemampuan menemukan, me-manage, mengevaluasi secara kritis dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah, penelitian, pengambilan keputusan dan pengembangan profesi. Hal tersebut merupakan komponen vital untuk belajar sepanjang hayat karena memungkinkan siswa untuk mengembangkan kerangka belajar mandiri dan mampu mentransfer kemampuan yang dapat daplikasikan kedalam masalah dan situasi yang baru. Pada strata tertentu pemustaka memerlukan bimbingan dan pemanduan. Oleh sebab itu diperlukan apa yang disebut orientasi perpustakaan, atau pendidikan pemakai(user education). Hal tersebut dilakukan agar transaksi informasi, transformasi dan proses penggunaan informasi di perpustakaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien, baik dalam hal waktu, tenaga, maupun prosedurnya. Pada umumnya pemustaka memiliki keterbatasan waktu sehingga bagi yang kurang memahami bagaimana mencari sumber informasi di perpustakaan mereka tentu membutuhkan bantuan atau mereka mesti pandai menggunakan panduan yang ada di perpustakaan. Jadi antara petugas dengan pemustaka berada dalam posisi yang sejajar, sama-sama memiliki kepentingan pada objek yang sama yakni perpustakaan. Kesan pemustaka adalah pelanggan sehingga pelanggan harus diutamakan di dalam melayani. Sementara petugas adalah penghubung antara pemakai jasa informasi dengan sumber informasi perlu diposisikan secara proporsional. Perilaku pemustaka yang lain adalah dalam mengaplikasikan informasi, ilmu pengetahuan dan wawasannya dalam kehidupan sehari-hari, Bagaimana mereka mengembangkan ilmunya untuk mengabdikan diri dalam masyarakat serta bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Pendidikan Pemakai Perpustakaan Di Indonesia Harus diakui bahwa belum banyak perpustakaan di Indonesia yang telah mengembangkan program pendidikan pemakai ke arah pencapaian literasi informasi pengguna. Apalagi perpustakaan sekolah. Namun kepedulian pustakawan terhadap literasi informasi cukup tinggi. Hal ini terbukti dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan tertentu atau lembaga-lembaga tertentu yang membahas tentang literasi informasi seperti adanya APISI (Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia), ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) yang sering menyelanggarakan tema-tema peltihan dan seminar berkaitan dengan literasi informasi. Kemudian dari beberapa literatur yang penulis baca, bahkan lembaga lain juga sangat menaruh perhatian pada peningkatan literasi informasi masyarakat, antara lain sekolah-sekolah swasta yang didirikan lembaga asing di Indonesia seperti Sekolah Pelita Harapan di Tangerang, Surabaya, International British School di Jakarta, Sekolah Al Izhar, dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa sekolah telah memulai budaya literasi informasi melalui perpustakaan yakni telah melakukan sebuah evolusi dari pendidikan pemakai kepada literasi informasi yang mempelajari secara mendalam pemanfaatan perpustakaan dan informasi. Hal tersebut jika kita lihat sekarang ini tema- tema penelitian atau survei tentang literasi informasi juga belum banyak yang terpublikasikan sehingga sulit sekali mengukur atau memperkirakan literasi masyarakat Indonesia. Namun secara kasat mata, dari kondisi masyarakat saat ini dapat dikatakan bahwa literasi informasi memang belum menjadi fokus perhatian pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Selain faktor ekonomi, di mana untuk membeli buku atau mengakses informasi melalui internet masih merupakan barang mahal bagi sebagian besar masyarakat, faktor keperdulian masyarakat terhadap literasi mereka sendiri kurang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pola pemelajaran di sekolah atau di lembaga pendidikan yang masih berpola teacher centered, yakni guru yang lebih aktif dalam pembelajaran. selanjutnya persepsi mengenai lulusan sekolah juga masih mengutamakan prestasi akademis semata, padahal aspek paling penting dari literasi informasi adalah aspek non akademis, seperti kepekaan terhadap lingkungan, pemahaman dan empati terhadap sesuatu, serta kemauan untuk terus belajar dan menerima hal-hal baru dalam hidupnya. Kembali ke masalah pendidikan pengguna di perpustakaan, pengelola perpustakaan dituntut lebih ‘berani’ melakukan terobosan baru untuk membantu masyarakat meningkatkan literasinya. Integrasi dengan kurikulum bukanlah persoalan mudah karena menyangkut berbagai pihak, namun bukan alasan pula untuk mengabaikannya. Sinergi antara berbagai jenis perpustakaan yang ada merupakan satu solusi efektif, mengingat pengguna perpustakaan juga memiliki perilaku berbeda. Dan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang memiliki otoritas di lembaga pendidikan di Negara ini dapat mengambil posisi strategis dalam konteks ini. Pertanyaannya lalu apa yang dapat dilakukan? Pendidikan Pemakai perpustakaan menuju Literasi Informasi di Sekolah Perpustakaan sekolah sebagai salah satu sumber informasi sekolah memegang peranan penting dalam upaya membekali siswa agar paham dengan Informasi Literasi untuk mengintegrasikan kedalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan demikian siswa akan lebih siap dan kreatif dalam memperoleh informasi untuk kedepannya. Sebagai bagian dari perpustakaan sekolah dan pelayanan informasi, titik peran dari pada pustakawan sekolah adalah dengan mengembangkan siswa dalam hal informasi literasi secara kritis. Agar proses pemahaman kebutuhan akan informasi berhasil dengan sukses, maka sangat perlu seseorang memahami tentang informasi literasi untuk itu disini dituntut peran dari pada pustakawan dan guru. Sebuah peran tidak hanya sepenuhnya di mengerti dan juga harus di dukung oleh komunitas sekolah, bekerja sama dalam membekali keterampilan dalam memperoleh informasi kepada siswa dalam memberdayakan perpustakaan dan pengetahuan serta menggunakan teknologi informasi dan pustakwan juga dituntut untuk lebih kreatif dan memiliki keterampilan dalam informasi literasi. Itu juga adalah sebuah peran dimana pustakawan sekolah bekerja sama bersama memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam hal belajar mengajar. Memiliki kemampuan mengorganisasi informasi tersebut secara efektif dan mengatur bahan-bahan informasi dan melayankannya keseluruh sekolah, menyediakan kualitas bahan belajar yang baik dan siswa dapat belajar dengan baik. Siswa yang sudah memiliki informasi literasi akan dapat mengakses informasi yang dingingkan secara efektif dan efisien, mengevaluasikan informasi secara kritis dan kompeten, dan menggunakan informasi yang diingikan secara akurat dan kreatif. Permasalahan Evolusi dan implementasi Program Literasi Informasi Di dalam melaksanakan program literasi informasi tentunya di sekolah mengalami banyak permasalahan yang di hadapi, diantaranya adalah :  Kebijakan sekolah yang terkadang terlalu "kaku"(tidak apresiasif) dalam memandang sebuah program baru, yakni dari program pendidikan pemakai manjadi program literasi informasi, kebanyakan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan pemakai hanya dilakukan setahun sekali setiap orientasi siswa baru.  SDM yang memahami literasi informasi masih sedikit, sehingga pengajaran materi literasi informasi juga menjadi kurang maksimal, diperlukan SDM Pustakawan yang memiliki kompetensi literasi informasi atau dengan mengadakan kolaborasi dan kerjasama dengan lembaga lain dalam mendidik siswa menjadi literat.  Kesinambungan dari program tersebut sulit untuk dilaksanakan, karena keterbatasan waktu, karena banyaknya kewajiban sekolah untuk memenuhi kurikulum Nasional. Di dalam melaksanakan program literasi informasi, Perpustakaan sekolah perlu membuat strategi pelaksanaannya sehingga program akan berjalan dengan baik salah satunya dengan menentukan model literasi informasi yang mana yang akan di gunakan sebagai langkah untuk mewujudkan siswa yang literasi informasi, atau sekolah membuat model sendiri yang dikembangakan dalam melaksanakan literasi informasi. Yang terpenting adalah bagaimana memahami literasi informasi tersebut untuk bekal hidupnya dan menjadikan siswa tersebut menjadi pembelajar mandiri. Pengertian Informasi Literasi Ada beberapa pengertian Information Literasi dari para ahli yaitu: Literasi informasi (LI) adalah seperangkat keterampilan dalam: 1. memahami informasi apa saja yang dibutuhkan, 2. membuat pertanyaan-pertanyaan berdasarkan informasi yang dibutuhkan, 3. mengidentifikasikan sumber-sumber informasi yang tepat, 4. mengevaluasi informasi 5. menyusun informasi agar dapat digunakan 6. menggunakan informasi yang telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah (Wiyanti, 2007). Literasi informasi adalah sebuah pemahaman dan seperangkat kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk tahu kapan informasi itu dibutuhkan dan mempunyai kapasitas untuk Menemukan, Mengevaluasi, Dan Menggunakan secara efektif informasi yang dibutuhkan itu (Council of Australian University Librarians 2004). Definisi sederhana mengenai informasi literasi juga diberikan oleh Wijetungge dan Alakahoon (Wijetungge and Alakahoon, 2005) sebagai kemampuan untuk mengakses, menilai dan menggunakan informasi dari berbagai sumber. Dari definisi sederhana berdasarkan tindakan yang diperlukan berkembanglah definisi kemelekan informasi sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan lokasi, menililai, mengorgansasi dan menciptakan secara efektif, menggunakan dan menggunakan informasi guna mengatasi sebuah masalah. Kemelekan informasi dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran sepanjang hayat. (Sulistyo-Basuki, 2007) Jadi kesimpulannya Information Literacy adalah untuk memastikan kapan dan dimana kita membutuhkan informasi, dimana menemukannya dan bagaimana mengevaluasikannya, menggunakan dan mengkomunikasikannya. Model Literasi Informasi Didalam menjadikan siswa menjadi melek informasi ada beberapa model yang bisa digunakan, model yang sudah banyak digunakan di sekolah dalam program literasi informasi ini adalah model the big 6 yang lazim digunakan di sekolah di Amerika dan Inggris. Berikut adalah beberapa model dari pada Literasi Informasi yaitu: The Big 6 The Big6 dikembagkan oleh Mike Eisden dan Bob Berkowitz. Model tersebut terdiri dari 6 tahap yaitu: 1. Defenisi , Yaitu mendefenisikan masalah dari informasi dan mendefenisikan informasi yang di butuhkan 2. Strategi Pencarian Informasi (Seleksi), Menentukan dan mensleksi semua sumber-bahan informasi yang dinginkan. 3. Lokasi dan Akses , Pencarian dan penelusuran bahan-bahan informasi yang di butuhkan 4. Menggunakan Informasi (Organisasi), Mengkombinasikan informasi yang didapat dan mengambil informasi yang relevan. 5. Sintesis (Presentasi), Mengorganisasikan dari berbagai sumber dan mempresentasikannya informasi tersebut 6. Evaluation (Menilai), Menilai dan memprosen apakah sudah efektif dan efisien. Empowering 8 Empowering 8 adalah salah satu dari 6 model literasi informasi. Model ini dikembangkan oleh dan merupakan copyright NILIS ( National Institute of Library and Information Sciences) dari Universitas Colombo Sri Lanka pada tahun 2004. Literasi informasi ini merupakan model reflektif dari kondisi lokal (Asia), oleh karena itulah model ini dikembangkan oleh orang Asia untuk Asia. Model ini terdiri dari 8 tahapan atau keterampilan atau kemampuan yang harus dikuasai oleh seseorang. Keterampilan tersebut adalah : 1 Identifikasi 5 Menciptakan 2 Eksplorasi 6 Presentasi 3 Seleksi 7 Penilaian 4 Organisasi 8 Penerapan Dari Model literasi informasi tersebut perpustakaan dalam mengimplementasikan programnya akan semakin mudah di dalam menyusun kurikulum literasi informasi sehingga akan menjadikan siswa yang literat. Penutup Perpustakaan sekolah di dalam menjadikan siswanya menjadi seorang yang memiliki keterampilan di dalam memanfaatkan perpustakaan dan dalam penelusuran informasi akan lebih baik jika meningkatkan atau bahkan merubah program pendidikan pemakai menjadi program literasi informasi, sehingga pengenalan perpustakaan tidak hanya sekedar diisi dengan mengenalkan secara fisik perpustakaan, tetapi lebih dari itu yakni melatih, mendidik, dan menjadikan siswa menjadi melak informasi, yakni siswa yang mengerti kebutuhan informasi, kemudian memeiliki kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan informasi untuk kemudian mampu menyampaikan informasi tersebut kepada orang lain serta mampu mengevaluasi informasi yang didapatkannya tersebut. Sehingga sekarang di era informasi dimana keterbukaan akses informasi dan membanjirnya informasi sehingga dengan cepat akan sampai kepada para siswa, maka program yang paling tepat untuk menjadikan siswa menjadi pembelajar yang mandiri adalah dengan program literasi informasi yang masuk ke dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah, atau paling tidak bekal ini diberikan secara berkesinambungan dilakukan oleh perpustakaan berkolaborasi dengan guru, sehingga akan dapat tercapai tujuan dan target pendidikan di sekolah tersebut. Daftar Referensi Markuson, Carolyn (1999). Effective Libraries in International Schools. John Catt Educational, UK. Perpustakaan Duta Wacana(2008). Sulistyo-Basuki (2007). Pengenalan Empowering 8: Sebuah model Literasi Informasi, Library Seminar and Workshop Information Literacy for School Library to University. Jakarta 10-12 Desember 2007 Wiyanti, Eko (2007) . Pengenalan Empowering 8: Sebuah model Literasi Informasi, Library Seminar and Workshop Information Literacy for School Library to University. Jakarta 10-12 Desember 2007. Wooliscroft, Michael. “From Library User Education to Information Literacy: some issues arising in this evolutionary process” dalam Paper prepared for COMLA Workshop, Gabarone, Botswana, July 1997.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN PUSTAKAWAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL MELALUI ORGANISASI PROFESI ATPUSI

MANAJEMEN PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN

SELEKSI PUSTAKAWAN BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL TAHUN 2010